Warisan konflik kolonial. Antara bayar sewa dan penyerahan.
MNC CENTER - Raungan pesawat tempur terdengar di langit Sabah, Malaysia, Selasa 5
Maret 2013. Terdengar suara mendesing sebelum gelegar bom menggetarkan
tanah di Desa Tanjung Labian, Lahad Datu, Sabah. Kengerian mulai
menyergap warga setempat. Di kejauhan, ada suara truk militer menderum
melintasi Tanjung Labian menuju Tanduo.
Sekitar setengah jam, Desa Tanduo, 7 kilometer dari Tanjung Labian,
diharubiru ledakan bom. Lalu senyap sebentar, sebelum “rat-tat-tat -tat”
suara rentetan senapan riuh bersahutan. Rupanya, ratusan serdadu
Malaysia menyisir Tanduo yang membentang di pesisir timur Sabah itu.
Mereka mencari para militan dari Kesultanan Sulu, Filipina, yang sudah
dua pekan menguasai kampung itu.
"Setelah serangan pertama, saya menegaskan para penyusup itu harus
menyerah dan jika mereka menolak, maka aparat akan bertindak tegas,"
kata Perdana Menteri Malaysia M Najib Razak menjelaskan “serangan fajar”
itu. “Pemerintah harus mengambil tindakan menegakkan marwah dan
kedaulatan.”
Diduga ada 180 orang Sulu di Tanduo. Di bawah pimpinan Putra Mahkota
Sulu Raja Muda Agbimuddin Kiram, mereka menduduki sejumlah kawasan di
Lahad Datu, Sabah. Mereka menyatakan Sabah milik Kerajaan Sulu, dan
meminta Malaysia menambah bayaran atas “rental” Sabah.
"Ini adalah waktunya,” kata Kiram. “Kami akan tetap bertempur demi
hak-hak kami. Mereka tidak bisa menakut-nakuti kami karena kami
bertarung demi hak Bangsa Sulu, dan Bangsa Filipina secara umum. Itu
jika pemerintah Filipina masih menganggap kami orang Filipina," kata
Kiram kepada radio dzMM.
Dan jawaban Kuala Lumpur adalah aksi polisionil yang dilancarkan Selasa pagi itu. Bagi Malaysia, Sabah adalah wilayah kedaulatannya. Rabu, keesokan harinya, puluhan mayat ditemukan bergelimpangan. Malaysia mengklaim, 31 militan Sulu dan 8 polisi Malaysia tewas dalam serangan belasan jam itu.
Kekuatan Sulu habis? Tidak juga. Kepala Kepolisian Malaysia Ismail
Omar menyatakan, sampai Kamis 7 Maret, polisi masih memburu para militan
Sulu. “Kami menyudutkan mereka di dua kampung,” katanya.
“Sewa” atau “Penyerahan”?
Sekitar tahun 1390, seorang perantau Minangkabau bernama Raja Baginda
mendarat di Buansa, yang kini terletak di dekat Jolo, Ibukota Provinsi
Sulu. Menurut MC Halili, dalam buku “Philippine History” edisi 2004,
orang-orang Raja Baginda mudah menaklukkan suku setempat karena memiliki
senjata api, sesuatu yang baru di negeri itu. Raja Baginda lalu giat
mengislamkan penduduk, dan menjadi penguasa de facto wilayah itu.
Pada 1450, Syarif Al Hasyim atau lebih dikenal sebagai Sayid Abu
Bakar, seorang ulama Arab, tiba pula di Buansa setelah bertolak dari
Johor, semenanjung Malaysia. Sayid Abu Bakar lalu menikahi Paramisuli,
putri Raja Baginda. Setelah ayah mertuanya meninggal, Sayid Abu Bakar
lalu meresmikan pemerintahan Kesultanan yang meniru model kekhalifahan
di Arab.
Keturunan Sayid Abu Bakar inilah yang menjadi sultan-sultan Sulu sampai hari ini.
Abu Bakar juga membentuk tentara yang terdiri dari warga Sulu asli
yakni Tausug. Dengan gelar “Paduka Mahasari Maulana al-Sultan
Sharif-ul-H?shim”, dia merapatkan kekuasaan Kesultanan Sulu, meliputi
wilayah maritim. Sulu pun berkembang menjadi kekuatan maritim terbesar
di kawasan.
Kolumnis Rita Linda V. Jimeno, seperti dimuat oleh Manila Standard Today,
Senin 18 Februari 2013, menuliskan antara 1473 hingga 1658, Sabah yang
dahulunya dikenal sebagai Borneo Utara adalah wilayah Kesultanan Brunei.
Namun pada 1658, Sultan Brunei memberikan wilayah ini kepada Sultan
Sulu sebagai balas jasa bagi Sultan Sulu yang membantu meredam perang
sipil di Kesultanan Brunei.
Pada 1761, Alexander Dalrymple, seorang pejabat Bristish East India Company, melakukan perjanjian dengan Sultan Sulu menyewa Sabah sebagai pos perdagangan Inggris. Kesepakatan sewa-menyewa itu termasuk penyediaan tentara oleh Kesultanan Sulu untuk mengusir Spanyol. Sementara pantai barat Borneo Utara (Serawak sekarang) diserahkan oleh Sultan Brunei ke Inggris beberapa tahun kemudian.
Pada 1761, Alexander Dalrymple, seorang pejabat Bristish East India Company, melakukan perjanjian dengan Sultan Sulu menyewa Sabah sebagai pos perdagangan Inggris. Kesepakatan sewa-menyewa itu termasuk penyediaan tentara oleh Kesultanan Sulu untuk mengusir Spanyol. Sementara pantai barat Borneo Utara (Serawak sekarang) diserahkan oleh Sultan Brunei ke Inggris beberapa tahun kemudian.
Tahun 1878, petualang Austria bernama Baron de Overbeck yang melihat
Kesultanan Sulu sedang kepayahan menghadapi kekuatan kolonial Spanyol
membujuk Sultan Sulu menyewakan Borneo Utara yakni Sabah dengan bayaran
(yang diistilahkan Sultan Sulu sebagai “Padjack”) per tahun sebesar
5.000 dolar Malaya, atau sekitar 1.600 dolar Amerika Serikat saat itu.
Dan Sultan Sulu yang sedang butuh dana untuk berperang pun mengiyakan.
Namun, alih-alih memakai sendiri izin “sewa” lahan, Overbeck menjual
kembali “hak” itu kepada seorang pedagang Inggris, Alfred Dent. Dent
kemudian mengelola Sabah di bawah bendera British North Borneo Company.
Kerajaan Inggris lalu memberi status Piagam Kerajaan untuk Sabah.
Tapi belakangan Spanyol yang menjajah Sulu, dan Belanda yang sedang
menjajah sebagian besar Kalimantan memprotes. Bekalangan, kata Senator
Filipina Jovito R. Salonga dalam pidatonya di Senat Filipina pada 30
Maret 1963, Inggris mengklarifikasinya dengan menyatakan “Kedaulatan
tetap pada Sultan Sulu” dan perusahaan Dent itu hanya otoritas
pengelola.
Namun pada 1885, Inggris, Spanyol, dan Jerman, menandatangani
Protokol Madrid yang mengakui kedaulatan Spanyol di Kepulauan Sulu.
Pengakuan ini ditukar dengan pelepasan Spanyol atas segala klaimnya di
Borneo Utara atau Sabah untuk mendukung Inggris. Pada 1888, Sabah resmi
menjadi protektorat Inggris--yang kemudian menduduki Malaysia sebagai
jajahan.
10 Juli 1946, enam hari setelah kemerdekaan Filipina, British North
Borneo Company mengalihkan semua hak dan kewajibannya pada Kerajaan
Inggris. Di masa Presiden Filipina Diosdado Macapagal, tahun 1962,
sebelum Malaysia terbentuk, Filipina pun mengajukan klaim atas Sabah.
“Pendirian kita, Overbeck dan Dent, bukan entitas kedaulatan atau
mewakili kedaulatan tertentu, tidak bisa dan tidak menguasai atau
berdaulat atas Borneo Utara,” kata Salonga dalam pidato bersejarahnya
yang dilansir ulang oleh Inquirer Global Nation pada 4 Maret 2013.
Sebenarnya Inggris pun berniat mengembalikan Sabah ke Kesultanan
Sulu. Untuk proses itu, dilakukanlah pemungutan suara, menentukan apakah
rakyat Sabah memilih bergabung dengan Federasi Malaysia, atau kembali
ke Kesultanan Sulu. Hasilnya, rakyat Sabah lebih memilih Malaysia
daripada Sulu. 16 September 1963, Sabah bersatu dengan Malaysia,
Sarawak, dan Singapura, membentuk Federasi Malaysia merdeka.
Malaysia merdeka, sewa Sabah dialihkan dari pemerintah Inggris ke
Malaysia. Tahun 1962, Kesultanan Sulu memberikan mandat pada Presiden
Filipina Diosdado Macapagal untuk melakukan negosiasi terkait wilayah
Sabah yang mereka miliki. Sejak saat itu disepakati, Kuala Lumpur harus
membayar sewa tahunan sebesar 5.300 ringgit atau setara 69.700 peso
kepada pewaris tahta Kesultanan Sulu.
Juru bicara Kesultanan Sulu, Abraham Idjiran, menyatakan, sampai
tahun 2002, Malaysia membayar 73,040.77 peso (Rp17,4 juta) kepada Sultan
Sulu Jamalul Kiram III.
"Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di
Filipina. Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699
kilometer persegi," kata Idjirani seperti dikutip ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013. “Ini menunjukkan bahwa secara historis dan hukum kami memiliki wilayah itu," ujar Idjirani. (Baca juga latar politik konflik ini di Bagian 3: Cinta dan Benci di Sulu)
Namun, jika Sulu menganggap itu uang pajak, Malaysia menganggap itu
pembayaran atas penyerahan kedaulatan. Menteri Luar Negeri Malaysia
Datuk Seri Anifah Aman menolak klaim pembayaran uang setiap tahun kepada
pewaris Sultan Sulu sebagai uang sewa wilayah Sabah. Uang itu
dibayarkan untuk penyerahan Sabah.
Menurut Anifah, perjanjian antara Alfred Dent dan Baron von Overbeckn dari the British North Borneo Company dengan Sultan Sulu yang dibuat pada 1878 menyatakan Sultan Sulu menyerahkan wilayah Kalimantan Utara secara permanen.
Dia menambahkan, Sabah telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari Malaysia. Kata Anifah, dia dan Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario bingung mengapa Kesultanan Sulu mengklaim Sabah saat kedua negara tengah menghadapi pemilihan umum.
Upaya damai
Menurut Anifah, perjanjian antara Alfred Dent dan Baron von Overbeckn dari the British North Borneo Company dengan Sultan Sulu yang dibuat pada 1878 menyatakan Sultan Sulu menyerahkan wilayah Kalimantan Utara secara permanen.
Dia menambahkan, Sabah telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari Malaysia. Kata Anifah, dia dan Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario bingung mengapa Kesultanan Sulu mengklaim Sabah saat kedua negara tengah menghadapi pemilihan umum.
Upaya damai
Setelah digempur habis-habisan dengan pesawat udara, Kesultanan Sulu
mengumumkan gencatan senjata sepihak terhadap tentara keamanan Malaysia.
Sultan Jamalul Kiram III meminta para pengikutnya yang masih bertahan
di Sabah untuk tidak lagi menyerang tentara keamanan Malaysia.
Namun, niat baik Kesultanan Sulu itu ditolak mentah-mentah oleh pihak
keamanan Malaysia. Pernyataan itu terungkap dalam akun Twitter milik
Menteri Pertahanan Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, sebagaimana dikutip
oleh laman GMA Network.
Ahmad menegaskan Malaysia tidak akan melakukan gencatan senjata
kecuali pihak tentara Kesultanan Sulu menyerah tanpa syarat kepada
Malaysia. "Demi kepentingan seluruh warga Sabah dan rakyat Malaysia,
habisi dulu seluruh tentara militan," kata Hamidi.
Sejak Kamis itu pula, Pemerintah Malaysia menyatakan kawasan di
sekitar operasi militer itu sebagai Kawasan Keamanan Khusus. Lima
batalyon polisi dan tentara ditempatkan di sana.
Presiden Benigno Aquino juga meminta para militan Sulu di Sabah untuk
menyerah. “Langkah kalian salah. Yang tepat dan memang, paling benar
kalian lakukan adalah menyerah,” kata Aquino dilansir Philippines Star.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon