Sebagian menganggap melejitnya harga
sapi jadi sebab, sebagian lain menunjuk persoalan klasik harga susu yang
tak sepadan sebagai akar masalah. Faktanya, populasi sapi perah dan
produksi susu nasional susut drastis
Bulan lalu Koperasi Susu Warga Mulya yang
berlokasi di kaki Gunung Merapi, Pakem, Sleman Jogjakarta kembali
berhasil menyelamatkan 2 ekor sapi betina produktif yang dijual
pemiliknya. Lebih dari setengah tahun terakhir, koperasi dengan jumlah
anggota 400 peternak itu bekerjasama dengan 3 orang pedagang sapi untuk
menjaring kembali sapi-sapi betina produktif yang dilego peternak
anggotanya.
Dipaparkan Manajer KS Warga Mulya Iskandar Gunawan, para pedagang
sepakat bersedia membawa sapi-sapi betina produktif yang telah dibelinya
tersebut ke koperasi. Selanjutnya, apabila sapi memenuhi syarat untuk
diselamatkan, koperasi akan membeli kembali senilai harga pembeliannya
plus uang ganti untung Rp 200 ribu – Rp 300 ribu.
Sapi-sapi itu, lanjut Gunawan, akan masuk rearing center untuk
dirawat dan biasanya dikreditkan kembali kepada peternak yang
membutuhkan. “Setiap bulan rata-rata 2 ekor betina produktif terjaring
kembali,” katanya. Langkah ini ditempuh koperasi untuk membendung laju
angka penjualan dan pemotongan induk-induk sapi perah yang terus meluas
akhir-akhir ini dan mulai menggerus populasi sapi perah di daerah
tersebut.
Melambungnya harga sapi potong akibat lonjakan harga daging sapi, kata
Gunawan, berimbas pada melejitnya harga sapi perah baik jantan maupun
betina, baik produktif maupun afkir. Pada gilirannya memicu percepatan
angka penyusutan populasi sapi perah dalam setahun terakhir.
Peternak banyak yang tergiur karena induk sapi perah dihargai demikian
tinggi. Sapi dara yang 1 – 2 tahun harganya Rp 6 juta, kini dibandrol Rp
8 jutaan. Sementara induk yang bagus harganya tembus Rp 12 jutaan
padahal sebelumnya hanya Rp 9 juta. “Lonjakan harga induk sapi perah tak
lepas dari bergairahnya harga sapi potong,” kata Gunawan.
Blantik Gentayangan
Erif Kemal Syarif, peternak sapi perah asal Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menyebut, maraknya pemotongan sapi perah terjadi sejak pertengahan 2012 karena bertepatan dengan jelang hari raya. Dulu, lanjut Erif, sapi perah betina afkir biasa diperdagangkan Rp 8 – 9 juta. Tapi sejak waktu itu sampai sekarang, sapi dengan bobot hidup 350 – 400 kg berani ditawar Rp 11 – 12 juta. “Pedagang nggak peduli itu sapi afkir atau produktif, yang penting bobot segitu,” kata dia.
Erif Kemal Syarif, peternak sapi perah asal Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menyebut, maraknya pemotongan sapi perah terjadi sejak pertengahan 2012 karena bertepatan dengan jelang hari raya. Dulu, lanjut Erif, sapi perah betina afkir biasa diperdagangkan Rp 8 – 9 juta. Tapi sejak waktu itu sampai sekarang, sapi dengan bobot hidup 350 – 400 kg berani ditawar Rp 11 – 12 juta. “Pedagang nggak peduli itu sapi afkir atau produktif, yang penting bobot segitu,” kata dia.
Alhasil, banyak sapi dara siap kawin atau sapi yang baru dua kali
dikawinkan tidak bunting, dengan alasan gemuk akhirnya dipotong. Tak
jarang peternak berdalih tidak produktif maka diafkir. Padahal, menurut
Erif, dengan perbaikan manajemen pemeliharaan sapi mampu menghasilkan
susu. “Tetapi umumnya peternak tidak berdaya,” tuturnya.
Gunawan membenarkan, banyak blantik (pedagang sapi) mendekati
dan membujuk para peternak untuk melepas sapinya. Dalih yang dipakai,
harga sedang bagus dan menguntungkan sementara mempertahankan sapi sama
dengan mengundang rugi.
Terlebih bila ditemui ada penyakit, blantik semakin intensif membujuk.
Padahal masalahnya sepele dan dapat diobati, misalnya mastitis (radang
ambing). “Peternak ditakut-takuti, periode berikutnya produksi susu akan
anjlok. Padahal sapi mastitis dapat diobati, dan kebanyakan sembuh,”
kata Gunawan.
Berdampak Nasional
Dedi Setiadi, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia)mengatakan, fenomena ini sudah berdampak pada populasi nasional sapi perah dan produksi susu secara nasional. Dedi mencatat, terjadi penurunan di sentra-sentrapeternakan sapi perah antara 10 – 30%. Ia menyebut, “Bandung, Bandung Barat, Garut, Boyolali, Pasuruan dan Malang adalah daerah yang paling banyak hilang sapi perahnya.”
Dedi Setiadi, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia)mengatakan, fenomena ini sudah berdampak pada populasi nasional sapi perah dan produksi susu secara nasional. Dedi mencatat, terjadi penurunan di sentra-sentrapeternakan sapi perah antara 10 – 30%. Ia menyebut, “Bandung, Bandung Barat, Garut, Boyolali, Pasuruan dan Malang adalah daerah yang paling banyak hilang sapi perahnya.”
Awalnya, Dedi berkisah, akhir 2011 harga betina produktif anjlok yang
diikuti turunnya harga susu. Ketika itu, betina produktif hanya dihargai
Rp 9 juta, sementara daging tengah langka dan sapi potong dihargai Rp
11 juta – 12 juta. Alhasil, banyak sapi perah beralih peruntukkannya
sebagai pedaging karena harga lebih tinggi.
Celakanya, kata Dedi, meski harga indukan kini sudah membaik, Rp 14
juta – 15 juta, dan sapi diperdagangkan sebagai ternak perah tidak lagi
untuk pedaging, sudah telanjur banyak sapi betina produktif dipotong.
Pasokan susu lokal yang sebelumnya hanya mampu mengisi 20 % permintaan
pasar, kini makin ciut lagi kontribusinya, tak lebih dari18 %. Kerja
yang tidak mudah untuk memulihkan populasi dan produksi susu nasional.
Alih-alih menyasar target swasembada susu 2020.
Erif punya prediksi yang membuat miris. Dengan nada mengingatkan ia
memprediksi pertengahan tahun ini pemotongan sapi perah produktif akan
meningkat lagi. Pemicunya, bertepatan momentum hari - hari besar dan
bulan-bulan saat peternak membutuhkan uang. Ia khawatir, bila tidak
segera diatasi, masyarakat akan kian sulit mendapatkan protein hewani
dari susu. Saat ini saja, wilayah Cisarua, kata Erif terjadi penurunan
produksi susu 15 – 20 %.
Indikasi penurunan juga dibenarkan beberapa pelaku lainnya. Aun
Gunawan, Ketua Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Jawa Barat menuturkan, sejak Juni tahun lalu sampai saat
ini di kawasan dia 6 ribu ekor sapi perah “menghilang”. Dari semula
berjumlah 22 ribuan ekor kini populasi tinggal 16 ribu ekor. “Kurang
lebih populasi turun 28%,” sebutnya.Ia menambahkan, periode Mei –Juni
2012 koperasi dengan wilayah kerja Kecamatan Kertasari, Pangalengan dan
Pacet ini mampu produksi 125 ton susu per hari. Tapi kini hanya 95 ton
per hari.
Di tingkat provinsi, Koesmayadi Tatang Padmadinata, Kepala Dinas
Peternakan Jawa Barat memberi keterangan. Hasil sensus terakhir
menyebutkan, populasi sapi perah di Jawa Barat 139.970 ekor. Tetapi di
2012, ia memprediksi terjadi penurunan 5 – 8 %. ”Kondisinya sudah SOS!”
ujar dia getir.
Susut di Jawa Timur
Susut populasi juga dialami salah satu sentra produksi susu Jawa Timur, kawasan Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Ketua Koperasi SAE Pujon, Abdi Swasono mengaku terjadi penyusutan populasi 7 ribu ekor di kecamatan tersebut dalam setahun belakangan. Angka populasi 2011 yang sekitar 25 ribu ekor turun menjadi 18 ribu di 2012. Dan yang paling banyak susut adalah angka sapi dara atau bakalan sapi perah.“Produksi susu Pujon pun, dibandingkan 2011, pada 2012 turun 17%,” imbuh pria yang juga Ketua Umum GKSI Jatim ini.
Susut populasi juga dialami salah satu sentra produksi susu Jawa Timur, kawasan Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Ketua Koperasi SAE Pujon, Abdi Swasono mengaku terjadi penyusutan populasi 7 ribu ekor di kecamatan tersebut dalam setahun belakangan. Angka populasi 2011 yang sekitar 25 ribu ekor turun menjadi 18 ribu di 2012. Dan yang paling banyak susut adalah angka sapi dara atau bakalan sapi perah.“Produksi susu Pujon pun, dibandingkan 2011, pada 2012 turun 17%,” imbuh pria yang juga Ketua Umum GKSI Jatim ini.
Salah satu parameter penurunan jumlah sapi perah betina produktif
adalah turunnya produksi susu secara konsisten. Ketua Bidang Usaha GKSI
Jawa Timur Sulistiyanto memberi keterangan, rata-rata produksi susu
harian Jawa Timur di 2012 tercatat 1.050 ton, turun dari catatan angka
2011 yang mencapai 1.150 ton per harinya. Dan penurunan masih berlanjut
di 2013, Maret adalah puncak penurunan dengan angka 950 ton per
hari.Secara umum merata, koperasi di Jawa Timur mengalami penurunan
produksi susu rata-rata 20%.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon