Betina Sapi Perah Produktif, UU Macan Kertas, & Subsidi


Koperasi tak berdaya membendung laju penjualan sapi perah betina produktif oleh peternak. Ironi di tengah berlakunya aturan larangan pemotongan betina produktif. Tuntutan subsidi pun mengemuka 

Meski belum mengganggu produksi susu koperasi, Iskandar Gunawan mengatakan,bila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut pasti akan menghambat perkembangan usaha sapi perah tanah air. Manajer Koperasi Susu Warga Mulya ini tengah mengomentari fenomena maraknya penjualansapi perah betina produktif oleh peternak pemilik dalam setahun terakhir. Dampak pun sudah terbaca dari data populasi sapi perah yang mulai menyusut.
Menjadi kesulitan tersendiri bagi koperasi untuk melarang peternak anggotanya melepas sapi-sapi yang murni milik peternak. “Kami hanya berwenang melarang apabila sapi itu statusnya kreditan dari koperasi dan belum lunas,” ujarnya.
UU Di Atas Kertas
Ironis, karena ini terjadi padahal undang – undang (UU) tentang pelarangan pemotongan sapi produktif sudah menjadi hukum positif di negara ini. Di lapangan aturan itu tak lebih dari sekadar hukum di atas kertas. Sulistiyanto, Ketua Bidang Usaha GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) Jawa Timur pun mengutarakan ketidakberdayaannya. “Kesulitannya adalah sapi-sapi tersebut milik peternak. Adalah hak peternak untuk mempertahankannya atau menjualnya,” kata dia.
Retorik, Ketua Umum GKSI Jawa Timur, Abdi Swasono menggarisbawahi, bagaimana koperasi dapat melarang peternak apabilasi pemilik tengah membutuhkan uang. Kewenangan koperasi, kata dia, sebatas menerapkan fungsi organisasi dan advokasi saja. “Kalau pelarangan, itu tugas pemerintah,” tunjuk Ketua Koperasi SAE Pujon ini.
Senada, Ketua Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat Aun Gunawan mengatakan pihaknya hanya bisa berupaya melalui penyuluhan dan memberikan pemahaman kepada peternak. Penekanannya, beternak sapi perah merupakan mata pencaharian utama karena itu disarankan tidak tergoda rayuan oknum yang tidak bertanggung jawab. “Jangan melihat keuntungan sesaat saja,” ujar dia. Karena apabila akan membeli lagi, bisa jadi akan susah sekali mendapatkannya.
Diminta tanggapannya, Direktur Jenderal, Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro membenarkan, pemerintah telah mengeluarkan larangan pemotongan sapi betina produktif.  Dijelaskannya, dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan No.18/2009 disebut tindakan itu dapat dikenai hukum pidana kurungan paling singkat 3 – 9 bulan dengan denda Rp 5 juta-Rp 25 juta.

Tapi Syukur pun mengakui masih kesulitan mencegah peternak menjual sapi perah betina produktif untuk kemudian dipotong. “Upaya-upaya yang telah dilakukan dengan pemberian insentif kepada peternak untuk pemeliharaan ternak betina produktif, dan sosialisasi larangan pemotongan sapi betina produktif,” sebutnya.
Dan menurut penjelasannya, laju pemotongan sapi perah produktif belakangan bisa direm sejak November 2012. Pasalnya, betina produktif sudah dihargai bagus sebagai ternak perah, induk kualitas baik bahkan dibandrol di rentang Rp 14 – 15 juta per ekor. Artinya, sapi diperdagangkan sebagai sapi perah bukan lagi untuk pedaging. Dan data yang diberikan Syukur menunjukkan populasi sapi perah dan produksi susu nasional dari waktu ke waktu meningkat (tabel).
Susah Payah & Subsidi
Gambaran yang bertolak belakang disampaikan asosiasi, koperasi maupun peternak (baca: “SOS Sapi Perah Indonesia!”). Narasumber TROBOS dari unsur pelaku usaha umumnya mengeluhkan dan menjeritkan situasi darurat populasi sapi perah dan produksi susu merata di berbagai daerah. Dan semua mengamini pernyataan yang menyebutkan usaha budidaya ternak sapi perah saat ini jauh lebih berat. Sebagian menggambarkan, peternak berdarah-darah mempertahankan kelangsungan usahanya agar tidak menyusul sebagian yang sudah menyerahmelego sapi-sapinya.
Usulan yang mencuat menghadapi situasi saat ini adalah subsidi harga pakan atau subsidi harga susu di tingkatpeternak. Dijelaskan Sulistiyanto, subsidi susu diberikan saat harga di koperasi turun di bawah harga ideal. Misalnya, harga ideal yang menguntungkan peternak adalah Rp 4.600, sementara harga pasaran hanya di Rp 4.300, maka pemerintah mensubsidi selisih Rp. 300 tersebut. “Kalau pemerintah ingin persusuan dalam negeri maju, ini harus dilakukan!” tandasnya.

Previous
Next Post »