Devisit Negara Tertinggi Sejak Tahun !961

 
Sinyal waspada diberikan oleh neraca perdagangan Indonesia di awal 2013. Tidak seperti beberapa tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia pada Januari ini mengalami defisit.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Januari 2009 surplus US$810 juta, Januari 2010 surplus US$2,03 miliar dan Januari 2011 surplus sebesar US$923,4 juta.

Sedangkan pada Januari 2013 neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$171 juta atau setara Rp1,64 triliun (kurs Rp9.600 per dolar AS). Kondisi itu lantaran impor Indonesia masih lebih tinggi dibanding ekspor.
Nilai ekspor Indonesia Januari 2013 mencapai US$15,38 miliar sedangkan nilai impor mencapai US$15,55 miliar. Kepala BPS, Suryamin, mengatakan, defisit perdagangan ini dikontribusi oleh sektor migas yang defisit sebesar US$1,425 miliar, minyak mentah US$554,7 juta, dan hasil minyak US$2,182 miliar.

Secara umum, menurut Suryamin, neraca perdagangan dengan negara ASEAN masih mengalami surplus, kecuali perdagangan ke Thailand yang defisit US$319,4 juta. Sementara itu, neraca perdagangan dengan negara kawasan Uni Eropa sebagian besar juga surplus, kecuali perdagangan ke Jerman yang masih defisit US$239,1 juta. Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar US$899,5 juta, Jepang US$20,6 juta, dan Australia US$166,5 juta.

"Pemerintah sedang mengusahakan untuk menggenjot perdagangan ke negara-negara potensial lainnya, sehingga diharapkan bisa menyebabkan surplus di perdagangan," kata Suryamin di Jakarta, Jumat 1 Maret 2013.

Catatan VIVAnews setahun terakhir, tanda-tanda defisit perdagangan sebenarnya telah dimulai sejak Juni 2012 dimana Indonesia mengalami defisit US$1,32 miliar, dan baru pada Agustus 2012 Indonesia menikmati kembali surplus sebesar US$248,5 juta.

Namun secara kumulatif neraca perdagangan RI sepanjang 2012 lalu defisit US$1,63 miliar, defisit tahunan tertinggi sejak 1961. Majalah ekonomi dan bisnis terkemuka, The Economist, dalam artikelnya berjudul: Indonesia's economy: Tipping the balance, edisi 23 Februari 2013, memberikan catatan khusus terkait defisit neraca perdagangan

The Economist menilai, di balik euforia tumbuhnya ekonomi Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki pegangan yang kuat dan bertindak konservatif. Di balik investasi yang booming di Indonesia, terdapat masalah besar yang dapat meledak sewaktu-waktu. Ekspor lemah, karena permintaan global yang tertekan dan harga sumber daya alam yang rendah.

Impor barang yang tumbuh kuat tidak dibarengi dengan ekspor. Hasilnya, keruntuhan neraca perdagangan Indonesia setelah surplus hampir US$26 miliar pada 2011. Neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit dan mengakhiri 14 tahun surplus. Mata uang yang tertekan baru-baru ini menunjukkan rupiah salah satu mata uang terburuk di Asia.

Majalah ekonomi berbasis di London itu menulis kembalinya defisit dan mata uang yang lemah menghidupkan kembali kenangan dari krisis ekonomi traumatis yang menyerang Indonesia pada akhir 1990-an. Pemerintah dan DPR bahu-membahu membendung dengan mengeluarkan kebijakan nasionalis yang dirancang untuk mendukung ekonomi dalam negeri.

Pada 2012, pemerintah menuntut agar seluruh pertambangan Indonesia, kepemilikan saham mayoritasnya dikuasai oleh orang Indonesia, dengan cara divestasi saham. Pemerintah juga ingin meningkatkan royalti yang dibayarkan oleh perusahan tambang asing.

Berbagai langkah Indonesia itu mendapatkan protes dari Amerika Serikat. AS mengadukan Indonesia kepada WTO, karena berbagai aturan impor pertanian dapat menjadi hambatan serius.

Kebijakan yang protektif oleh Indonesia ini dinilai dapat mengancam dan mengguncang kepercayaan investor asing pada negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara itu. Kebijakan ini dinilai dilakukan pada saat situasi yang buruk, karena Indonesia membutuhkan investasi asing untuk membiayai pembangunan jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik.

Jika politisi dan pemerintah ingin memperbaiki neraca transaksi berjalan, menurut The Economist, harus melihat APBN itu sendiri. Anggaran Indonesia habis tersedot oleh subsidi bahan bakar minyak hingga terjadi defisit anggaran. Pemotongan subsidi dan menjalankan defisit anggaran yang lebih kecil akan meningkatkan tabungan negara, sehingga membuat ruang bagi investor domestik yang lebih tinggi.

Menaikkan harga BBM merupakan salah satu cara untuk mengurangi impor minyak mentah yang membebani pemerintah. Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak sejak pertengahan 2000, dan pemerintah mengeluarkan hampir US$40 miliar per tahun untuk impor minyak.
Rupiah Tertekan?

Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, megakui defisit neraca perdagangan 2012 tertinggi sepanjang sejarah sejak 1961. Menurutnya, defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor minyak untuk diolah menjadi BBM subsidi. "Jika ini dibiarkan, maka defisit akan semakin besar," katanya awal Februari 2013.

Namun, ia mengatakan hingga saat ini belum ada rencana penyesuaian harga BBM bersubsidi untuk mengurangi konsumsi BBM subsidi agar dapat menekan defisit neraca perdagangan. Saat ini pemerintah fokus untuk mengendalikan volume konsumsi BBM subsidi sesuai kuota.

Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, mengatakan defisit neraca perdagangan terjadi akibat permintaan impor minyak yang tinggi, sementara permintaan bahan baku dan modal yang merupakan ekspor utama Indonesia mengalami perlambatan. "Tingginya impor minyak menandakan konsumsi BBM subsidi yang tidak terkendali sehingga terjadi defisit," katanya.

Defisit neraca ini juga memberikan tekanan kepada rupiah karena permintaan dolar AS melonjak. Bank Indonesia, katanya, harus mewaspadai tekanan cadangan devisa dan meminta BI untuk intervensi jika terjadi gejolak valuta asing.

Ia memprediksi defisit neraca perdagangan akan terus terjadi pada 2013 karena impor bahan baku akan terus meningkat, dan di sisi lain ekspor Indonesia masih rentan.

Pada jangka pendek, kata dia, pemerintah harus dapat membuat para investor asing nyaman agar investasi terus masuk ke Indonesia. Modal asing dapat digunakan untuk menutupi defisit. Caranya adalah dengan dengan memperbaiki infrastruktur. Jika investasi asing masuk, lanjutnya, maka dapat meningkatkan ekspor Indonesia dengan sendirinya.

Previous
Next Post »