Menepis Tudingan Kartel di Perunggasan


Parameternya dipertanyakan stakeholders. Tetapi ini merupakan bentuk mekanisme demokrasi yang dapat menjadi koreksi dan introspeksi bagi pelaku usaha agar tidak berbuat seenaknya.
Belum lama, tudingan praktik kartel dan persaingan usaha tidak sehat sempat dialamatkan kepada bisnis komoditas ayam pedaging. Dugaan ini dimuat oleh beberapa media massa nasional, menyusul laporan KEN (Komite Ekonomi Nasional) yang menyebutkan, di dalam bisnis daging ayam (dan beberapa komoditas lain) terdeteksi beberapa indikator yang mengarah pada berlangsungnya praktik kartel.
Menanggapi kecurigaan tersebut, Ketua Gappi (Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia), Anton J Supit mengatakan, seyogyanya lembaga atau asosiasi yang ada jangan asal menuduh kartel tanpa paham sepenuhnya persoalan dan karakter sebuah bisnis. Terlebih, lanjut Anton, apabila lembaga atau asosiasi tersebut tidak mewakili stakeholders yang terjun langsung dalam bisnis tapi memberikan pandangan dan masukan ke pemerintah. “Kalau terjadi persoalan jangan lantas dengan gampang menuduh kartel,” ujarnya menyayangkan.
Ia mencontohkan untuk komoditas jagung, yang harus banyak didengar adalah petani dan perusahaan pakan ternak sebagai pengguna produk para petani bukan lembaga atau asosiasi yang tidak jelas mewakili siapa. “Apakah harga jagung bisa diatur? Kenyataannya tidak karena harga jagung dunia bisa berubah detik per detik dan terjadi persaingan diantara produsen jagung sehingga kalau dibilang kartel parameternya apa?” Tanya dia.
Di dalam negeri, imbuh Anton, persaingan pabrikan pakan ternak untuk mendapatkan jagung sangat luar biasa. Harga komoditas ini di dalam negeri demikian fluktuatif. “Jadi sebaiknya kita kembali pada cara berpikir yang benar. Jangan asal bunyi dan asal tuduh tanpa dasar yang kuat. Tanyalah pada kami-kami yang tahu bisnis ini,” tegasnya.
Tak Sesuai Fakta
Sanggahan juga datang dari Ketua Umum GPMT (Asosiasi Produsen Pakan Indonesia), Sudirman. Ia beralasan, fakta di lapangan yang menunjukkan harga produk perunggasan naik turun menjadikan tudingan kartel sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. “Di pakan ternak saja, pemainnya ada sekitar 63 perusahaan dan itu bersaing dengan harga yang naik turun,” terangnya.
Mengatur harga DOC (Day Old Chicken/ayam umur sehari) adalah yang paling mungkin dilakukan, kata Sudirman. Tetapi itupun tidak terjadi. Faktanya harga DOC naik turun, bahkan tak jarang anjlok tak terkira sampai sesekali tidak laku. “Kalau harga diatur atau kartel, harga pasti stabil. Yang terjadi di bisnis perunggasan saat ini adalah persaingan sempurna,” tandas Sudirman.
Sekretaris Jenderal GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas) Indonesia, Chandra Gunawan memberikan keterangannya, jumlah pelaku usaha di pembibitan unggas lebih dari 40 perusahaan. “Tidak ada dominasi dari pihak yang besar untuk mengatur semua. Disebut kartel apabila terjadi dominasi 2 atau lebih kelompok besar yang seolah-olah menguasai pasar. Kenyataannya tidak ada,” tegasnya.
Ia menyodorkan fakta, harga DOC dari perusahaan pembibitan yang besar tidak selalu lebih tinggi dari perusahaan pembibitan yang kecil. Pada saat permintaan DOC turun, harga pun sangat bervariasi dan tidak selalu harga dari perusahaan besar akan lebih tinggi atau lebih rendah. Menurut dia, naik turunnya harga DOC mengikuti mekanisme pasar tergantung pasokan dan permintaan. “Penyebab harga DOC melambung atau anjlok adalah permintaan. Dan saat ini yang paling sulit adalah menghitung permintaan,” duganya.
Bersifat Politis
Ketua Umum GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) Tri Hardiyanto mensinyalir tudingan kartel di ayam pedaging dilatarbelakangi persoalan harga karkas ayam di pasar yang tinggi dan memicu inflasi. Padahal harga di tingkat konsumen tidak mencerminkan harga di level peternak. Harga karkas ayam yang tinggi di pasaran tidak selalu menguntungkan peternak.
Tri menduga munculnya tuduhan kartel lebih bersifat politis. Apalagi pihak yang menuduh tidak tahu persis keadaan di perunggasan. “Jadi, mereka perlu diberi tahu karena tidak tahu permasalahan yang sebenarnya,” ujarnya.
Tri berpendapat, harga bukan satu-satunya faktor penentu dalam persaingan usaha perunggasan, ada faktor kualitas dan biaya produksi. Ia menjelaskan, misalnya dari pihak breeder (pembibit) harus berlomba menghasilkan kualitas DOC  minimal sesuai standarbila mau laku dijual ke peternak. “Jadi belum tentu harga murah lalu pasti DOC-nya laku,” katanya.
Tetapi  Tri tidak terlalu khawatir dengan tuduhan kartel tersebut. “Biar saja orang menuduh kartel supaya menjadi koreksi dan introspeksi bagi pelaku usaha. Tidak ada masalah. Itu adalah sebuah mekanisme demokrasi bahwa orang dikontrol supaya tidak berbuat seenaknya,” ujarnya enteng.
Dimintai komentarnya terkait adanya dugaan kartel di sektor perunggasan, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk memberikan penilaian. “Bukan kapasitas saya untuk melakukan itu. Kapasitas saya adalah bagaimana meningkatkan produksi dan kesejahteraan para peternak,” ujarnya diplomatis.
Pertumbuhan bisnis perunggasan pada 2012 mencapai 15 % atau 2 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6,5 %. Begitu pula untuk pakan ternak, tahun lalu tumbuh sekitar 13 – 14 %. Tahun ini pun diprediksi akan terus bertumbuh.
KPPU Memantau
Kepada TROBOS, Ketua KPPU, Muhammad Nawir Messi memberikan keterangan, pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap bisnis perunggasan. Beberapa tahun memantau, sampai hari ini pihaknya belum menemukan bukti–bukti dan belum bisa membuktikan dengan baik adanya kartel. Meskipun, kata dia, dugaan–dugaan itu selalu ada.
Nawir mengungkapkan, pihaknya sering kali mendapat informasi terkait persaingan usaha yang tidak sehat di bisnis perunggasan meskipun susah sekali dibuktikan. “Kita sering memperoleh informasi meskipun yang melapor tidak mau bersaksi,” katanya. Ia mencontohkan fenomena yang terjadi ketika pasokan DOC berlebih, DOC dibakar atau dibuang. “Kalau DOC dibakar sendiri tidak apa–apa tapi kalau bersepakat melakukan pembakaran bersama–sama dengan perusahaan lain itu haram namanya,” tegas Nawir.
Fenomena itu dinilai sebagai upaya untuk menghambat pasokan, dan itu haram hukumnya dalam ekonomi pasar. Begitu pasokan dibatasi harga pasar yang tadinya rendah akan terkoreksi dan itu tidak menguntungkan konsumen. “Kita kan bekerja supaya pasar bekerja secara efisien. Salah satu bentuk efisiensi adalah harga terjangkau dan kualitas baik,” ujarnya.
Nawir melanjutkan, pihaknya sering mendengar laporan meskipun susah dibuktikan bahwa para pelaku inti berkumpul untuk mengatur pasokan. Yang melapor itu produsen juga yang diduga kalah bersaing. “Yang namanya kartel itu hanya bisa efektif kalau kompak,” katanya. Tapi menurut dia, pada sebagian besar praktik kartel,ada pengkhianat. Teorinya, pelaku usaha dengan pangsa pasar kecil akan cederung menahan harga agar konsumen beralih kepadanya.

Previous
Next Post »